Diriwayatkan oleh Umar bin Khatthab
r.a., beliau berkata : saya bersama Rasulullah s.a.w sedang duduk-duduk.
Rasul s.a.w. bertanya kepada para sahabat, “Katakan kepadaku, siapakah
makhluk Allah yang paling besar imannya?” Para sahabat menjawab; ‘Para
malaikat, wahai Rasul’. Nabi s.a.w bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan
mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, kerana
Allah s.w.t telah memberikan mereka tempat”. Sahabat menjawab, “Para
Nabi yang diberi kemuliaan oleh Allah s.w.t, wahai Rasul”. Nabi s.a.w.
bersabda, “Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak
ada yang bisa menghalangi itu, kerana Allah s.w.t telah memberikan
mereka tempat”. Sahabat menjawab lagi, “Para syuhada yang ikut bersyahid
bersama para Nabi, wahai Rasul”. Nabi s.a.w. bersabda, “Tentu mereka
demikian. Dan mereka berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi
itu, kerana Allah s.w.t telah memberikan mereka tempat”.
“Lalu siapa, wahai Rasul?”, tanya para sahabat.
Lalu Nabi s.a.w. bersabda, “Kaum yang hidup sesudahku.
Mereka beriman kepadaku, dan mereka tidak pernah melihatku, mereka
membenarkanku, dan mereka tidak pernah bertemu dengan aku. Mereka
menemukan kertas yang menggantung, lalu mereka mengamalkan apa yang ada
pada kertas itu. Maka, mereka-mereka itulah yang orang-orang yang paling
utama di antara orang-orang yang beriman”. [Musnad Abî Ya’lâ, hadits nombor 160].
Waktu yang ditunggu-tunggu itu belum datang juga, namun beberapa orang masih terus mencari. Mereka menelusuri hujung-hujung kota Mekkah. Dari satu tempat ke tempat lain, orang-orang yang merindukan kehadiran seorang pembebas itu tak lupa bertanya kepada orang-orang yang mereka jumpai di setiap tempat. Mereka bertanya begini kepada setiap orang, “Siapakah di antara kalian yang memiliki bayi laki-laki?”. Namun tak seorang pun mengiyakan pertanyaannya. Orang awam tentu tidak memahami maksud pertanyaan itu, namun orang-orang itu tidak juga berhenti untuk mencari dan menanyakan di mana gerangan bayi laki-laki yang dilahirkan. Semuanya ini dilakukan untuk membuktikan kepercayaan yang selama ini diyakininya. Bahawa dunia yang telah rosak sedang menanti kedatangannya.
Hingga pada suatu pagi.
Sebagaimana aktifitas yang telah diberlakukan semenjak zaman nabi
Ibrahim a.s, setiap bayi yang lahir pada saat itu segera di-thawaf-kan.
Ini tidak lain untuk mendapatkan hidup yang penuh barokah, yakni
bertambahnya kebaikan lahir dan batin, serta mengharapkan kemuliaan dan
petunjuk dari Allah s.w.t. Tidak terkecuali bagi seorang Sayyid Abdul
Muththalib, yang terkenal masih bersih dalam urusan teologi. Begitu
mengetahui cucu laki-lakinya lahir, maka segeralah beliau membawa bayi
itu menuju Ka’bah, lalu Thawaf, membawa bayi itu mengelilingi Ka’bah
tujuh kali sambil berdoa kepada Allah s.w.t.
**
Tepat sesaat setelah Sayyid Muththalib
memasuki rumah setelah men-thawaf-kan cucunya, lewatlah seseorang yang
selama beberapa hari ini mencari kelahiran seorang bayi laki-laki. Saat
itu, orang yang sudah cukup tua tersebut masih menanyai kepada setiap
orang yang dia temui, “Siapakah di antara kalian yang memiliki bayi
laki-laki?”. Pada saat itulah sayyid Muththalib menyadari ada seorang
tua yang mencari bayi laki-laki.
Dipanggilnya orang tua itu, lalu beliau
berkata kepadanya, “Saya punya bayi laki-laki, tapi, tolong katakan,
apa kepentingan Anda mencari bayi laki-laki?”.
“Saya ingin melihat bayi laki-laki yang
baru lahir. Itu saja”, jawab orang tua tersebut yang sekonyong-konyong
muncul semangat baru dalam dirinya. Tanpa memberikan kesulitan apapun,
Sayyid Muththalib mempersilahkan orang tua itu masuk ke rumahnya untuk
melihat bayi yang dimaksud.
Apa yang terjadi saat orang tua itu melihat bayi yang ditanyakannya, adalah hal yang tidak pernah dibayangkan oleh sayyid Muththalib. Sang Sayyid memang tidak pernah berfikir apa pun. Sebagai layaknya seorang datuk yang berbahagia mempunyai cucu, beliau cukup bersyukur sang cucu dilahirkan dalam keadaan sihat wal-afiat. Namun, bagi orang tua yang sedang mencari sesuatu itu tidak demikian. Begitu melihat bayi dan menemukan ciri-ciri sebagaimana disebutkan dalam al-Kitab yang dia baca, serta informasi dari orang-orang terdahulu, orang tua itu berseru, “Benar, benar sekali ciri-cirinya, inilah bayi yang akan menjadi Nabi akhir zaman kelak…”. Dalam kebengongan Sayyid Muththalib, pengsanlah orang tua yang selama ini mencari-cari bayi laki-laki tersebut, lalu wafat pada saat itu juga.
***
Orang-orang yang mencari bayi laki-laki saat itu, termasuk seorang tua yang akhirnya mendapatkannya dan pengsan, adalah para agamawan yang meyakini akan kehadiran seorang Nabi akhir zaman. Mereka sangat teguh memegang berita akan kemunculan nabi akhir zaman ini. Semakin kuat keyakinan mereka, semakin mereka meninggalkan urusan-urusan dunianya guna menanti atau mencari nabi akhir zaman itu. Penantian nabi akhir zaman itu, selain berkat informasi dari kitab-kitab mereka, saat itu, mereka juga sangat merasakan bahawa keadaan membutuhkan kehadiran sang Nabi.
Orang-orang yang mencari bayi laki-laki saat itu, termasuk seorang tua yang akhirnya mendapatkannya dan pengsan, adalah para agamawan yang meyakini akan kehadiran seorang Nabi akhir zaman. Mereka sangat teguh memegang berita akan kemunculan nabi akhir zaman ini. Semakin kuat keyakinan mereka, semakin mereka meninggalkan urusan-urusan dunianya guna menanti atau mencari nabi akhir zaman itu. Penantian nabi akhir zaman itu, selain berkat informasi dari kitab-kitab mereka, saat itu, mereka juga sangat merasakan bahawa keadaan membutuhkan kehadiran sang Nabi.
Sedang sang bayi yang ditunggu adalah bayi Muhammad Shalla-llâhu ‘alayhi wa sallama, bayi yang kelak menjadi nabi terakhir.
Demikianlah, akhir dari kisah pencarian
para agamawan pada zaman pra Nabi Muhammad saw. Pencarian atas apa yang
diisyaratkan dalam kitab-kitab mereka, bahawa akan diutusnya nabi akhir
zaman untuk meluruskan kembali akidah-akidah yang telah tidak berdasar.
Dari kisah ini, kita mengetahui betapa pada waktu itu masyarakat mengalu-alukan kehadiran Nabi Muhammad saw, ‘Sungguh
telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa
olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan)
bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin’.
(QS. 9:128). Hampir setiap kaum tahu bahawa ketika situasi sudah sangat
rosak, nabi akhir zaman akan muncul. Namun, dari mana dia lahir, hal
itu yang tidak pernah diketahui secara pasti. Yang diketahui pada saat
itu adalah ciri-ciri tempat, posisi bintang, ciri-ciri bayi, dan lain
sebagainya.
Dalam kitab-kitab lama, ciri-ciri
tersebut ditulis secara jelas. Hingga masyarakat yang membaca
kitab-kitab itu pun akan mengetahui pula. Tidak sekadar mengetahui, tapi
mereka juga berkeinginan untuk dekat dengan nabi akhir zaman tersebut.
Salah satu yang diimpikan oleh berbagai kaum saat itu, adalah harapan
agar nabi akhir zaman itu muncul dari keturunannya. Hal demikian tentu
sangat manusiawi. Maka, untuk mewujudkan impian itu, banyak kaum yang
melakukan migrasi dari kampung halamannya, untuk mencari tempat yang
disebutkan ciri-cirinya oleh kitab-kitab lama.
Ada beberapa tempat yang saat itu menjadi pilihan para pencari nabi akhir zaman. Tempat-tempat itu antara lain adalah Mekkah, Madinah (Yathrib) serta Yaman. Salah satu dari tiga tempat itu diyakini menjadi tempat nabi akhir zaman dilahirkan. Banyak juga para agamawan yang menduga nabi akhir zaman masih akan muncul dari kawasan Jerusalem atau Damaskus.
***
Untuk kes Mekkah, orang-orang atau kaum non Quraisy yang minoriti adalah kaum pendatang yang sengaja tinggal di Mekkah untuk menanti kedatangan nabi akhir zaman. Sedangkan kes migrasi di Madinah, orang-orang Yahudi-lah yang banyak menempati kota tersebut waktu itu. Suku bangsa seperti Bani Nadhir, Quraizah, Qainuqa’ dan suku-suku kecil lainnya, yang sering muamalahnya menghiasi sejarah Islam dan târîkh Nabi saw, adalah keluarga-keluarga Yahudi yang bermigrasi dari berbagai kawasan, baik dari Jerusalem, Yaman, mahupun yang lainnya, ke daerah Madinah untuk menanti nabi akhir zaman. Migrasi-migrasi itu terjadi dengan harapan nabi akhir zaman muncul dari keturunan mereka, selain, tentunya, mengharapkan barokah tadi. Migrasi ke Madinah ini dilakukan sudah cukup lama, setidaknya mereka telah mendiami Madinah sekitar 100 tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad saw.
Banyak sekali suku-bangsa yang percaya
akan datangnya nabi akhir zaman. Mulai dari Ethiopia (Al-Habsyi) hingga
Damaskus (Dimasyqa), serta dari Yaman hingga negeri-negeri Rusia.
Semuanya menanti kedatangannya.
***
Sang nabi akhir zaman itu telah lahir. Namun, sangat disayangkan,
Allah swt telah dengan cepat memanggil para agamawan yang menjadi “saksi
penting” kebenaran Muhammad s.a.w ke sisi-Nya. Seolah-olah sebuah drama
yang penuh liku, sedikit demi sedikit, para agamawan yang diharapkan
kesaksiannya telah wafat. Tidak bisa dibayangkan, andaikata para
agamawan ini, dan segenap murid serta keturunannya, masih hidup serta
senantiasa mengikuti perkembangan bayi Nabi Muhammad saw hingga pada
usia-usia dewasa dan kenabian, tentu sejarah akan berbicara lain.
Memang, kes-kes wafatnya para agamawan
setelah melihat tanda-tanda adanya kenabian, seperti yang terjadi pada
orang tua itu, bukanlah yang pertama kali. Dalam rakaman sejarah, banyak
sekali informasi yang membahasnya, bahkan sejak zaman sayyid
Abdullah—ayahanda Nabi Muhammad saw—belum menikah dengan sayyidah
Aminah, dan juga pada masa-masa dalam kandungan sayyidah Aminah. Hingga
pada suatu waktu di kemudian hari, tepatnya 40 tahun setelah kelahiran
nabi, sejarah juga kehilangan seorang agamawan-monotheis yang informasi
spiritualnya sangat berharga bagi keberlangsungan keyakinan terhadap
adanya nabi akhir zaman.
Dalam hadits yang diriwayatkan sayyidah
‘Aisyah ra disebutkan bahawa setelah mendapatkan wahyu pertama,
sayyidah Khadîjah ra—bersama nabi—mendatangi pak sedaranya, Waraqah bin
Naufal, untuk meminta nasihat atas apa yang baru saja terjadi pada nabi.
Waraqah bin Naufal adalah seorang agamawan ahli kitab suci.
Setelah Nabi Muhammad saw menceritakan
semua yang terjadi kepada beliau—di gua hira itu—langsung saja Waraqah
terperanjat dan menjawabnya,”Itu adalah Nâmûs yang diturunkan Allah
s.w.t. kepada Musa a.s. Ya Tuhan, semoga saja aku masih hidup ketika
orang-orang mengusir nabi ini…”.
Waraqah tahu, bahawa yang menemui Nabi
Muhammad saw adalah Namûs, alias malaikat Jibril as, yang pernah menemui
Nabi Musa as dulu. Pengakuan Waraqah ini mirip dengan peristiwa yang
terjadi beberapa tahun kemudian, saat Nabi Muhammad saw membacakan ayat
al-Qur’an di hadapan jin, maka jin itu berkomentar, “Mereka berkata,
’Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (iaitu
al-Qur’an) yang telah diturunkan sesudah Musa, yang membenarkan
kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada
jalan yang lurus. [QS. 46:30].
Dan Waraqah tahu, bahawa yang ada di
depannya saat itu adalah seorang nabi, yang di kemudian hari akan diusir
oleh kaumnya sendiri dari tanah kelahirannya. Tapi, harapan Waraqah
untuk menjadi saksi perilaku orang-orang terhadap Nabi Muhammad saw
tidak kesampaian. Beberapa hari setelah itu, beliau wafat. Untuk ke
sekian kalinya, Allah swt memanggil hamba-Nya yang bisa menjadi “saksi
spritual” atas kenabian Muhammad saw. Tapi, itulah, Allah swt tentu
memiliki kehendak-kehendak tersendiri yang tidak pernah kita ketahui.
***
Dengan wafatnya beberapa agamawan yang menjadi saksi kebenaran kelahiran sang nabi, terputus pula informasi-informasi ini. Situasi informasi tentang nabi akhir zaman kembali ke titik nol. Namun inti berita yang ada dalam kitab-kitab tentang akan diutusnya nabi akhir zaman saat itu masih ada. Kerana realiti teologis memang memerlukannya. Hanya berita ini yang telah diketahui oleh para agamawan di berbagai tempat, sebagaimana berita akan kelahirannya. Dan mereka hanya dapat memegang keyakinannya, tanpa ada kemampuan untuk mencarinya, sebagaimana pendahulu-pendahulu mereka menemukan waktu saat-saat dilahirkannya Nabi Muhammad s.a.w. Nampaknya, agamawan yang baru membaca kitab-kitab suci itu lebih percaya bahawa nabi akhir zaman sudah benar-benar lahir di dunia ini.
Memang banyak ditemukan beberapa anak
laki-laki yang memiliki nama Ahmad atau Muhammad pada masa pra kenabian.
Menamakan Ahmad atau Muhammad kerana orang tuanya sangat berharap
anaknya menjadi nabi. Tetapi, para agamawan tentu sudah memiliki wasilah
atau cara tersendiri untuk menentukan “validiti stempel” yang ada pada
seorang nabi, apa lagi nabi akhir zaman. Maka, mereka tinggal menanti
detik-detik kedatangan risalah dan deklarasi kenabian sang nabi akhir
zaman itu.
***
Secara umum, dapat dikatakan bahawa kebanyakan para agamawan saat itu sudah mengetahui bahawa nabi akhir zaman akan diturunkan dari keluarga tertentu, dan di tempat tertentu. Ada saja yang mengetahui, atau setidaknya meyakini, bahawa nabi akhir zaman itu muncul dari keluarga Bani Hasyim, di daerah Mekkah, dan lain sebagainya. Ini misalnya terjadi kepada seorang pedagang dari Mekkah yang berjulukan Atîq, saat berdagang ke Yaman. Sebagai pedagang yang juga intelektual, ke mana pun pergi beliau tidak lupa untuk berkunjung ke kalangan agamawan.
Secara umum, dapat dikatakan bahawa kebanyakan para agamawan saat itu sudah mengetahui bahawa nabi akhir zaman akan diturunkan dari keluarga tertentu, dan di tempat tertentu. Ada saja yang mengetahui, atau setidaknya meyakini, bahawa nabi akhir zaman itu muncul dari keluarga Bani Hasyim, di daerah Mekkah, dan lain sebagainya. Ini misalnya terjadi kepada seorang pedagang dari Mekkah yang berjulukan Atîq, saat berdagang ke Yaman. Sebagai pedagang yang juga intelektual, ke mana pun pergi beliau tidak lupa untuk berkunjung ke kalangan agamawan.
Saat beliau menemui seorang agamawan di
Yaman, dan beliau ditanya tentang asal daerah serta dari keluarga apa,
maka setelah mendapatkan jawaban, sang agamawan itu menyatakan, “Nanti
akan ada nabi akhir zaman dari daerah kamu dan dari keluarga kamu”.
Beliau—Atîq—percaya atas informasi yang disampaikan agamawan Yaman itu.
Begitu sang nabi muncul dan mendakwahkan kembali ajaran-ajaran Tauhîd
[monotheisme] yang hilang, dia –Atîq– pun segera bersaksi atas kebenaran
ajaran itu. Beliau menjadi laki-laki pertama yang membenarkan risalah
yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. Saat masuk Islam itu, beliau mengganti nama menjadi Abû Bakar, yang kelak menjadi sahabat utama sang nabi akhir zaman dan mendapatkan gelar Ash-Shiddîq,
yang senantiasa membenarkan. Ini adalah jawaban atas pertanyaan, kenapa
Abû Bakar r.a. selalu saja membenarkan kebenaran Muhammad.
***
Dalam al-Qur’an, Allah s.w.t. berfirman, “Dan
(ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh,
apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian
datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu,
niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?”. Mereka menjawab: “Kami mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. [QS. 3:81]
Para
nabi berjanji kepada Allah s.w.t. bahawa bilamana datang seorang Rasul
bernama Muhammad mereka akan iman kepadanya dan menolongnya. Perjanjian
nabi-nabi ini mengikat pula para ummatnya. Namun, manusia selalu
melakukan penentangan terhadap keputusan-keputusan Allah s.w.t. Para
manusia itu ingkar, sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an, “Dan setelah datang kepada mereka Al Qur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka—maksudnya kedatangan Nabi Muhammad s.a.w. yang tersebut dalam Taurat dimana diterangkan sifat-sifatnya—, padahal
sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat
kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa
yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la’nat
Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu”.(QS. 2:89)
Itulah manusia yang sangat tidak
beruntung dengan melakukan penolakan terhadap kenabian Muhammad s.a.w.
Maka, sangat tepat jika Nabi Muhammad s.a.w. bersabda dalam hadits yang
penulis nukil pada permulaan di atas. Bahawa
orang yang menjadi saudara Nabi s.a.w. adalah orang yang tidak pernah
melihat Nabi s.a.w. namun percaya akan kenabian dan selalu membenarkan
sabda-sabda beliau. Orang-orang yang tidak pernah
bertemu dengan Nabi s.a.w. tapi selalu membenarkan beliau itulah yang
merupakan orang-orang paling utama di antara orang-orang beriman. Ya Allah, tetapkanlah kami untuk selalu beriman kepada-Mu dan kepada Nabi-Mu.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan